Derajat Hadits Puasa Senin Kamis
oleh : Al-Ustadz Abul Fadhl Al-Bughisiy –hafizhahullah-
[Pengajar Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
Di tengah kami membaca tulisan Sang Kiai di atas, tiba-tiba mata kami tertuju pada hadits-hadits shohih lainnya yang telah ia dho’i-kan (lemahkan), dan insya Allah penjelasannya akan datang pada masanya. Diantara hadits-hadits lainnya yang dilemahkan oleh Sang Kiai, hadits tentang puasa Senin-Kamis.
Al-Imam At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata dalam Sunan-nya (no. 747),حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رِفَاعَةَ ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي هَذَا البَابِ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.“Muhammad bin Yahya telah menceritakan kami, ia berkata, “Abu Ashim telah menceritakan kami dari Muhammad bin Rifa’ah dari Suhail bin Abi Sholih dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,“Amalan-amalan dihadapkan pada Hari Senin dan Kamis. Karena itu, aku menyukai kalau amalanku dihadapkan, sedang aku berpuasa”.At-Tirmidziy berkata, “Hadits Abu Hurairah dalam bab ini adalah hadits hasan ghorib”.
Derajat Rawi-rawi
- Muhammad bin Yahya. Dia adalah Muhammad bin Yahya bin Abdillah bin Kholid bin bin Faris bin Dzu’aib Adz-Dzuhliy Abu Abdillah An-Naisaburiy (tsiqoh hafizh jalil).
- Abu Ashim Adh-Dhohhak bin Makhlad bin Muslim An-Nabil Al-Bashriy (tsiqoh tsabt).
- Muhammad bin Rifa’ah bin Tsa’labah bin Abi Malik Al-Qurthubiy Al-Madaniy (Maqbul).
- Suhail bin Abi Sholih (shoduq, namun berubah hafalannya di akhir hayatnya).
- bapaknya, yakni bapak dari Suhail. Bapaknya bernama Dzakwan As-Samman Az-Zayyat Al-Madaniy (tsiqoh tsabt).
- Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-.
Dari keterangan hadits ini, kita dapat lihat bahwa semua rawinya tsiqoh, kecuali Muhammad bin Rifa’ah (orangnya maqbul) dan Suhail (shoduq taghoyyar bi akhiroh). Jadi, hadits ini sanadnya dho’if (lemah).Namun ia memiliki syawahid (penguat) dari sahabat lain[1].
- Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (no. 21781) meriwayatkan dengan sanadnya dari bekas budakUsamah bin Zaid -radhiyallahu anhu-:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، أَنَّ مَوْلَى قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ حَدَّثَهُ أَنَّ مَوْلَى أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، كَانَ يَخْرُجُ فِي مَالٍ لَهُ بِوَادِي الْقُرَى فَيَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ، فَقُلْتُ لَهُ: لِمَ تَصُومُ فِي السَّفَرِ وَقَدْ كَبِرْتَ وَرَقَقْتَ ؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَ تَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ ؟ قَالَ: ” إِنَّ الْأَعْمَالَ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ “
“Bahwa beliau (Usamah) pernah keluar karena harta miliknya di Wadi Al-Quro. Kemudian beliau berpuasa Senin-Kamis. Aku katakan kepadanya, “Kenapa anda berpuasa di dalam safar, padahal anda telah tua dan lemah?” Beliau berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu biasa berpuasa Senin-Kamis, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda berpuasa Senin-Kamis?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya amalan-amalan dihadapkan pada hari Senin dan Hari Kamis”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (no. 632), Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot Al-Kubro (4/71), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (3/42-43), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (no. 1757), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (2781 & 2782), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (4/293) dan dalamFadho’il Al-Awqot (291) dari berbagai jalur dari Hisyam Ad-Dastawa’iy dengan sanad yang sama di atas.
Di dalam sanadnya ada dua rawi yang bermasalah, yaitu bekas budaknya Qudamah dan bekas budaknya Usamah. Kedua orang ini majhul. Namun hadits ini shohih li ghoirih dengan adanya syawahid (beberapa penguat) di atas dan lainnya.
- Ibnu Khuzaimah berkata dalam Shohih-nya (2119) dengan membawakan sanadnya sampai kepadaUsamah -radhiyallahu anhu-, beliau berkata,
حدثنا سعيد بن أبي يزيد وراق الفريابي حدثنا محمد ابن يوسف حدثني أبو بكر بن عياش عن عمر بن محمد حدثني شرحبيل بن سعد عن أسامة قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصوم الاثنين و الخميس و يقول : إن هذين اليومين تعرض فيهما الأعمال
“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa berpuasa Senin-Kamis dan beliau bersabda, “Sesungguhnya kedua hari ini dihadapkan padanya amalan-amalan”.
Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Irwa’ () usai membawakan hadits ini, “Syarohbil bin Sa’ad adalah Abu Sa’ad Al-Khothmiy Al-Madaniy. Pada dirinya ada kelemahan. Namun hadits ini dengan adanya tiga jalur ini, tak ragu lagi tentang ke-shohih-annya. Terlebih lagi ia memiliki syahid (penguat) dari haditsnya Abu Hurairah, yaitu hadits yang akan datang berikutnya”.
- Al-Imam At-Tirmidziy berkata dalam Sunan-nya (no. 745) dengan membawakan sanadnya sampai kepada A’isyah -radhiyallahu anha-
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ ، عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ الفَلاَّسُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ دَاوُدَ ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ، عَنْ رَبِيعَةَ الجُرَشِيِّ ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : ((كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ))
وَفِي البَابِ عَنْ حَفْصَةَ ، وَأَبِي قَتَادَةَ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ.
حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ.
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa menaruh pilihan berpuasa pada Hari Senin dan Kamis”.
At-Tirmidziy berkata, “Di dalam bab ini (ada hadits-hadits) dari Hafshoh, Abu Qotadah, Abu Hurairah dan Usamah[2]. Hadits A’isyah adalah hasan ghorib dari sisi ini”.[3]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (no. 2360) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 1739) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (7/123). Syaikh Al Albaniy -rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini shahih. [Lihat Shohihul Jami’ (no. 4897)].
Di dalam sanadnya ada seorang rawi bernama Robi’ah bin Amr atau Robi’ah Al-Ghoz Al-Jurosyiy. Dia diperselisihkan kedudukannya sebagai sahabat[4]. Sebagian orang menyangka bahwa tak ada yang menyatakannya tsiqoh, kecuali Ibnu Hibban. Bahkan beliau di-tsiqoh-kan oleh Ad-Daruquthniy. [Lihat Al-Khulashoh (hal. 116), Tahdzib At-Tahdzib (12/38) dan Mawsu’ah Aqwal Ad-Daruquthniy (15/21) oleh As-Sayyid Abul Mu’athi An-Nuri]
Rawi yang demikian halnya derajat haditsnya tak akan turun dari derajat shohih atau hasan menuju dho’if. Anggaplah hadits ini dho’if (lemah), tapi ia kuat dengan sebab dua syahid yang berlalu di atas. Karenanya, Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- menyatakan hadits ini shohih dalam Siyar A’lam An-Nubala’(13/563)
- Al-Imam An-Nasa’iy -rahimahullah- berkata dalam Sunan-nya (4/203/no. 2367),
أخبرنا القاسم بن زكريا بن دينار قال حدثنا حسين عن زائدة عن عاصم عن المسيب عن حفصة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا أخذ مضجعه جعل كفه اليمنى تحت خده الأيمن وكان يصوم الإثنين والخميس
“Al-Qosim bin Zakariyya bin Dinar telah mengabari kami, ia berkata, “Husain telah menceritakan kami dari Za’idah dari Ashim dari Al-Musayyib dari Hafshoh, ia berkata,
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu -bila hendak tidur-, maka beliau meletakkan telapak tangan kanannya di bawah pipi kanannya. Dahulu beliau biasa berpuasa Senin-Kamis”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (1/152/no. 9228), (3/42) & (9/76), Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (1545), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (2676, 2787 & 10600) dan dalam Amal Al-Yawm wa Al-Lailah (no. 764), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (no. 7037), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (no. 347), Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yawm wa Al-Lailah (no. 730) dari jalur Husain bin Ali Al-Ju’fiy dengan sanad di atas.
Semua rawi hadits ini tak ada yang bermasalah, kecuali Al-Musayyib, walaupun ia tsiqoh, namun sebagian ulama menyatakan bahwa ia tak pernah mendengarkan suatu hadits dari seorang sahabat pun, selain Al-Baro’ bin Azib dan Abu Iyas Amir bin Abdah. Hanya saja hadits ini bisa dijadikan penguat bagi riwayat yang sebelumnya dan sebaliknya dikuatkan dengannya.
- Al-Imam Ath-Thobroniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 942) dengan membawakan sanadnya sampai kepada Abu Rafi’ -radhiyallahu anhu-,
حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ثنا يحيى الحماني ثنا مندل بن علي عن محمد بن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يصوم الإثنين والخميس
“Bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu biasa berpuasa Senin-Kamis”.
Hadits ini lemah, karena di dalamnya terdapat rawi-rawi yang lemah: Yahya Al-Hammaniy, Mindil bin Ali Al-Kufi (dho’if) dan Muhammad bin Ubaidillah. Muhammad bin Ubaidillah (dho’if)[5]. [Lihat At-Tarikh Al-Kabir(1/171) oleh Al-Bukhoriy, Al-Asami wal Kuna (5/234) oleh Abu Ahmad Al-Hakim, Majma’ Az-Zawa’id(3/255)]
Para ahli hadits telah menganggap hadits shohih dan benar datangnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, berdasarkan hadits-hadits ini dan amaliah para sahabat sebagaimana anda bisa lihat dalam kitab-kitab Al-Mushonnaf. Nah, diantara yang menilai hadits tentang hadits puasa Senin-Kamis adalah shohih, misalnya: Adz-Dzahabiy dalam Siyar A’lam An-Nubala’, Al-Hafizh dalam Fathul Bari (4/236), Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir (5/755), Al-Albaniy, Husain Salim Asad dalam Takhrij Musnad Abi Ya’laa, Abdul Qodir Al-Arna’uth dalam Takhrij Jami’ Al-Ushul, Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad.
Bantahan Syubhat
Sang Kiai dalam melemahkan hadits Puasa Senin-Kamis, maka ia menempuh berbagai cara. Diantaranya menyebutkan beberapa syubhat yang perlu kita sanggah agar para pembaca mengerti kelemahan hujjahnya, insya Allah.
Syubhat Pertama:
Sang Kiai berkata, “Imam Muslim tidak mencantumkan puasa pada hari Kamis karena di anggap keliru . Pada hal dalam riwayat Abu Dawud puasa hari kamis itu di cantumkan . Ini tanda bahwa tambahan itu masih yang valid . Bila perlu di kaji ulang dan bukan sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- valid akan jelas dan tidak terjadi perselisihan”
Jawab: Sebelum kita menjawab syubhat ini, maka ada baiknya kita bawakan dulu hadits riwayat Muslim dalam Shohih-nya (1162),
حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن غيلان بن جرير سمع عبدالله بن معبد الزماني عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صومه ؟ قال فغضب رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال عمر رضي الله عنه رضينا بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولا وببيعتنا بيعة، قال فسئل عن صيام الدهر؟[6] فقال : لا صام ولا أفطر ( أو ما صام وما أفطر )، قال فسئل عن صوم يومين وإفطار يوم ؟ قال ومن يطيق ذلك ؟ قال وسئل عن صوم يوم وإفطار يومين ؟ قال ليت أن الله قوانا لذلك قال وسئل عن صوم يوم وإفطار يوم ؟ قال ذاك صوم أخي داود ( عليه السلام ) قال وسئل عن صوم الاثنين ؟ قال ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت ( أو أنزل علي فيه ) قال فقال صوم ثلاثة من كل شهر ورمضان إلى رمضان صوم الدهر قال وسئل عن صوم يوم عرفة ؟ فقال يكفر السنة الماضية والباقية قال وسئل عن صوم يوم عاشوراء ؟ فقال يكفر السنة الماضية
وفي هذا الحديث من رواية شعبة قال وسئل عن صوم يوم الاثنين والخميس ؟ فسكتنا عن ذكر الخميس لما نراه وهما
“Muhammad bin Al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kami (sedang lafazh ini milik Ibnul Mutsanna), keduanya berkata, “Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kami, ia berkata, “Syu’bah telah menceritakan kami dari Ghoilan bin Jarir, ia telah mendengar Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaniy dari Abu Qotadah Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ditanya tentang puasa beliau. Ia (Abu Qotadah) berkata, “Lalu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- marah”. Karenanya, Umar pun berkata, “Kami ridho Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai rasul dan bai’at kami sebagai bai’at”.
Beliau ditanya tentang puasa sepanjang tahun. Beliau bersabda, “Tidaklah ia berpuasa dan tidak pula berbuka”.
Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa dua hari dan berbuka sehari. Beliau bersabda, “Siapakah yang memampui hal itu?” Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa sehari dan berbuka dalam dua hari”. Beliau bersabda, “Semoga saja Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk hal itu”. Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa sehari dan berbuka sehari”. Beliau bersabda, “Itulah puasanya saudaraku Dawud. Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa pada hari senin”. Beliau bersabda, “Itulah hari aku dilahirkan padanya dan dibangkitkan (atau padanya diturunkan wahyu kepadaku). Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau bersabda,
“Puasa tiga pada setiap bulan, dari (puasa) Romadhon ke Romadhon lainnya merupakan puasa sepanjang tahun”. Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa pada Hari Arafah. Beliau bersabda, “Puasa itu akan menghapuskan (dosa) tahun lalu dan yang tersisa”. Ia (Abu Qotadah) berkata, “Beliau ditanya tentang berpuasa pada Hari Asyuro’. Beliau bersabda, “Puasa itu akan menghapuskan (dosa) tahun lalu”.
Di dalam hadits ini dari riwayat Syu’bah, ia berkata, “Beliau ditanya tentang puasa pada Hari Senin dan Kamis”, lalu kami (yakni, Imam Muslim) diam dari menyebutkan “Kamis”, karena kami memandangnya sebagai kekeliruan”.
Para pembaca yang budiman, demikian lafazh bagi hadits yang diriwayatkan oleh Muslim -rahimahullah- dalam Shohih-nya.
Disini harus cermati bahwa Syu’bah dalam meriwayatkan hadits ini telah menyebutkan tambahan kata“Kamis”, sementara rawi-rawi lain tidak menyebutkannya. Disini Imam Muslim menilai bahwa Syu’bah dalam meriwayatkan hadits ini secara khusus telah melakukan wahm (kekeliruan) dengan menyebutkan kata tersebut. Jadi, riwayat tambahan ini adalah hadits yang syadz.
Nah, ini tidaklah mengharuskan bahwa hadits-hadits tentang sunnahnya Puasa Senin-Kamis adalah semuanya dho’if (lemah). Sama sekali tidak. Yang dikatakan oleh Imam Muslim di dalamnya terjadi wahm (kekeliruan) hanyalah hadits ini saja. Adapun hadits-hadits lain yang telah kita jelaskan satu persatu beserta takhrij-nya, maka amat jelas bagi orang yang berilmu bahwa hadits-hadits itu adalah shohih, bukan lemah!! Dengan ini batallah sangkaan keliru Sang Kiai dalam ucapannya di atas. Walillahil hamdu wal minnah.
Syubhat Kedua:
Sang Kiai berkata, “Ibnu Ady berkata :
وَهَذَا الْحَدِيْثُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي أَرَادَهُ اْلبُخَارِي أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَعْبَدٍ لاَ يُعْرَفُ َلهُ سَمَاعٌ مِنْ أَبِي قَتَادَةَ
“Hadis tsb adalah hadis yang di maksudkan oleh Imam Bukhari bahwa perawi Andullah bin Ma`bad tidak di kenal pernah mendengar hadis dari Abu Qatadah”.[7]
Demikian nukilan Pak Kiai dari Ibnu Adi untuk melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas dengan mencacat Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaniy, sebab Al-Bukhoriy menyatakan bahwa Abdullah ini tidak diketahui pernah mendengar hadits dari sahabat Abu Qotadah -radhiyallahu anhu-. Dengan ini, hadits Muslim tersebut adalah dho’if, sebab ada inqitho (keterputusan) dalam sanad antara Abdullah bin Ma’bad dengan Abu Qotadah.
Sebagai jawaban, kita nukilkan dulu ucapan Al-Bukhoriy -rahimahullah-, lalu kita hukumi. Sebab, terkadang terjadi kesalahan bila kita tidak menukil suatu ucapan dari sumbernya secara langsung.
Al-Bukhoriy -rahimahullah- berkata,
ورواه عَبد الله بن معبد الزماني ، عن أبي قتادة ، عَن النبي صَلَّى الله عَليهِ وسَلَّمَ في صوم عاشوراء ولم يذكر سماعا من أبي قتادة.
“Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaniy dari Abu Qotadah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang Puasa Asyuro’, dan ia (Abdullah bin Ma’bad) tidak menyebutkan sama’ (mendengarnya) dari Abu Qotadah”.[8]
Al-Bukhoriy -rahimahullah- berkata lagi,
ولا نعرف سماعه من أبي قتادة
“Kami tidak mengetahui sama’-nya (mendengarnya) Abdullah dari Abu Qotadah”.[9]
Ucapan Al-Bukhoriy -rahimahullah- dalam ucapan di atas, lahiriahnya tidaklah memastikan tak adanyasama’ (mendengar hadits) bagi Abdullah Az-Zimmaniy dari Abu Qotadah. Sehingga riwayat Muslim di atas sudah lurus dan shohih[10].
Selain itu, perlu diketahui bahwa menurut Al-Bukhoriy -rahimahullah- bahwa seorang rawi jika tidak diketahui dengan pasti bahwa ia pernah bertemu dan mendengarkan hadits dari seorang guru, maka haditsnya dianggap terputus (munqothi’). Adapun Muslim -rahimahullah-, maka beliau punya syarat berbeda bahwa seorang rawi dianggap bersambung haditsnya dari seorang guru, dengan sekedar mengetahui bahwa ia mu’ashoroh (semasa) dengan si guru dan ada kemungkinan bertemu, walaupun tak diketahui secara pasti bahwa ia pernah bertemu. Sekedar mu’ashoroh dan kemungkinan bertemu, Imam Muslim menetapkan bahwa hadits seorang rawi dianggap bersambung dengan gurunya dan dianggap pernah mendengar hadits darinya[11].
Mungkin di antara rawi yang demikian keadaannya adalah Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaniy. Oleh karenanya, Muslim meriwayatkan haditsnya dalam kitab Shohih-nya sebagai hadits yang shohih. Wallahu a’lam.
Anggaplah bahwa riwayat Imam Muslim di atas adalah dho’if, maka bukan berarti semua riwayat tentang Puasa Senin-Kamis adalah dho’if (lemah)!! Sama sekali tidak demikian!!! Bahkan hadits-hadits itu shohih dan bukanlah riwayat Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaniy!!!!
Kesimpulan Pembahasan
1. Hadits-hadits yang menetapkan Puasa Senin-Kamis adalah hadits-hadits shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, karena ia datang dari berbagai jalur periwayatan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan ini tampaklah bagi kalian kekeliruan KH. Mahrus Ali yang telah melemahkannya sebagai akibat ia tak mengambil kaedah taqwiyatul hadits bi turuqih wa syawahidihi ma lam takun at-turuq syadidatadh dho’fi (menguatkan hadits dengan jalur-jalur dan syawahidnya selama syawahidnya dan jalur-jalurnya tidak berat dan parah kelemahannya).
2. Jika telah nyata bagi anda ke-shohih-an hadits-hadits itu, maka kita tetapkan bahwa disyariatkan melakukan puasa Senin-Kamis.
3. Hadits-hadits ini telah di-shohih-kan oleh sejumlah ulama hadits sebagaimana telah berlalu penyebutan nama-nama mereka. Yang kami sebutkan disini jumlah mereka sedikit. Tapi sebenarnya banyak yang telah menilainya shohih, entah secara gamblang, maupun tersirat.
Para pembaca yang budiman, demikianlah sedikit catatan yang perlu kami torehkan dalam kesempatan ini. Semoga tulisan ini merupakan bagian dari nasihat, bukan celaan. Kami berharap semoga tulisan ini memberikan faedah bagi kaum muslimin agar senantiasa tegar di atas sunnah yang shohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi Robbil alamin, wa shollallahu ala Khoiril anam wa alihi wa shohbihi ajma’in.[12]
[1] Lantaran itu, hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (949) dan Takhrij Al-Misykah (2056).
[2] Sebagian ulama menyebutkan bahwa Usamah bin Syarik -radhiyallahu anhu- juga meriwayatkan hadits ini dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Ma’rifahsebagaimana yang dinukil oleh Al-Muttaqi Al-Hindi dalam Kanzul Ummal (no. 24578).
[3] Ghorib disini jangan diartikan “nyeleneh” sebagaimana yang dilakukan oleh Sang Kiai. Ghorib bisa diartikan bahwa hadits ini tak datang kecuali dari jalur ini saja, atau mungkin bisa dipahami bahwa ghorib pada sebagian sanadnya, yakni diriwayatkan oleh seorang rawi pada salah semua tingkatan sanadnya ataukah pada sebagian tingkatan saja. Jika diartikan nyeleneh, maka pasti kita akan melemahkan hadits ini. Padahal tidaklah demikian. Itulah sebabnya At-Tirmidziy menyatakannya hasan. Jika diartikan nyeleneh, berarti ucapan At-Tirmidziy, “Hasan ghorib” akan simpang siur!! Setelah meng-hasan-kan, kemudian melemahkan!!! Anggaplah maknanya “nyeleneh” lalu dimaknai lemah (dho’if), maka disini harus dipahami bahwa maksud At-Tirmidziy dari ucapan tersebut bahwa beliau meng-hasan-kan hadits itu dengan sebab adanya beberapa jalur dan syawahid, walaupun asalnya lemah. Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan “hadits hasan li ghoirih”. Wallahu a’am.
[4] Al-Mubarokfuriy -rahimahullah- berkata, “Ibnul Qoththon mencacat hadits ini dengan sebab rawi (yaitu, Robi’ah) dari A’isyah dan bahwa ia majhul (tak dikenal). Ibnul Qoththon telah keliru dalam hal itu. Dia adalah sahabat. Demikianlah dalam At-Talkhish”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (3/374)]
[5] Bahkan dikatakan oleh Al-Bukhoriy bahwa ia munkarul hadits.
[6] Muhammad Qol’ajiy berkata dalam Mu’jam Lughoh Al-Fuqoha’ (1/112)
صيام الدهر: أن يصوم فلا يفطر كل أيام السنة
“Puasa sepanjang tahun: seorang berpuasa tanpa berbuka pada semua hari-hari dalam setahun”.
Jadi, maksudnya, “puasa sepanjang tahun”, seorang berpuasa dalam seluruh hari-hari dalam setahun. Dia tak pernah melalui suatu hari, kecuali ia berpuasa. Jangan dipahami bahwa orang yang berpuasa demikian tak pernah makan sahur atau berbuka di saat tenggelamnya matahari.
Shiyamud dahr, secara harfiahnya: puasa sepanjang masa, tapi kami istilahkan dengan “puasa sepanjang tahun”, karena defenisinya demikian, sehingga ia sama maknanya dengan puasa setahun penuh (صِيَامُ السَّنةِ كُلِّهَا)
Hal ini perlu saya jelaskan karena kalimat ini tak dipahami baik oleh Sang Kiai saat membantah saudara kami Al-Akh Abu Mu’awiyyah dalam situs Al-Atsariyyah (http://al-atsariyyah.com/puasa-enam-hari-syawal.html) saat menjelaskan keutamaan Puasa Enam Hari Syawwal.
[7] Lihat Al-Kamil (4/224)
[8] Lihat At-Tarikh Ash-Shogir (1/226/no. 1296) dan At-Tarikh Al-Awsath (3/113/no. 231), keduanya karya Al-Bukhoriy.
[9] Lihat At-Tarikh Al-Kabir (5/198) oleh Al-Bukhoriy.
[10] Lihat komentar Syaikh Abdullah bin Dhoifillah Ar-Ruhailiy dalam catatan kaki beliau pada kitab Man Tukullima fiih wa Huwa Muwatstsaqun aw Sholihul Hadits (hal. 209) karya Adz-Dzahabiy, cet. Maktabah Al-Madinah Ar-Roqmiyyah, 1426 H.
[11] Lihat As-Sunan Al-Abyan (hal. 31) oleh Ibnu Rusyaid, At-Tawdhih Al-Abhar (hal. 54) oleh As-Sakhowiy, dan Al-Hiththoh (hal. 159) oleh Shiddiq Hasan Khan.
[12] Selesai ditulis dan diedit siang hari, pukul 11:12, pada 23 Romadhon 1434 H di Masjid Al-Ihsan,Kompleks Ponpes Al-Ihsan, Jln. Likukang, Bonto Manai, Bonto Marannu, Gowa, Sulsel.
0 Response to "Derajat Hadits Puasa Senin Kamis"
Posting Komentar